Senja belum benar-benar tua. Matahari masih mengintip dunia dari balik mega yang menyala. Dan aku masih jelas melihat langkah kecilmu saat kau melintas lagi dijalan ini, dijalan yang selalu membuatku tak pernah lelah menunggumu, dan saat kau telah berlalu, bergegas aku mencari bekas jejakmu yang barangkali membekas diwajah bumi, atau sekedar mencari dan menghirup aroma tubuhmu yang mungkin tersangkut pada sayap-sayap angin yang baru saja kau lewati, pada setiap hari, pada setiap senja, aku ada untuk menunggumu, tanpa kau tahu.
Kau masih seperti satu tahun yang lalu, saat aku pertama kali sampai dijalan ini. Langkah kecil yang indah, senyum yang merekah, serta matamu yang selalu berhasil menyimpan lelah. Bedanya, dulu aku tidak tahu siapa namamu, dimana rumahmu, sebagai apa dan dimana kau bekerja, hingga aku hanya menemukanmu ketika hari telah senja, hanya dijalan ini, dan hanya kau sendiri. Tapi kini, aku tahu namamu, aku tahu dimana rumahmu. Sebagai apa dan dimana kau bekerja. Dan itu semakin membuatku betah menunggumu dijalan ini. tak peduli apa kau tahu atau tidak, bahwa aku disini menunggu: untukmu.
Orang-orang memanggilmu Arinda. Niva Arinda. Kau hanya seorang gadis yang berprofesi sebagai penjahit. Tinggal di ujung jalan ini. Setiap pagi, saat matahari telah sepenggal menaiki tangga timur, saat itulah kau akan melintas dijalan ini. Menuju ruko kecil yang berdiri ditengah deretan ruko-ruko besar. Melayani setiap orang yang ingin membuat baju, atau memotong jeans yang terlalu panjang bagi kaki mereka, atau hanya sekedar memasang kembali kancing yang terlepas. Dan saat matahari telah hampir tenggelam ditangga barat, saat senja, baru kau akan kembali melintas dijalan ini lagi. Pulang. Menuju rumah. Yang ternyata hanya ada seorang perempuan tua dirumahmu itu. Dan kau memanggilnya bunda. Perempuan yang telah mengandungmu, melahirkanmu, memberimu nama Niva Arinda, dan perempuan yang telah mengajarimu menjahit. Juga mengajarimu bagaimana melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik.
Satu tahun yang lalu…
Orang-orang memanggilku Gila. Aku tidak tahu mengapa mereka memanggilku seperti itu. Padahal aku punya nama. Sadar. Namaku adalah Muhammad Sadar. Tapi entahlah. Aku lupa mulai kapan aku dipanggil Gila dan karena apa aku di panggil Gila. Tapi sudahlah. Itu tidak terlalu penting bagiku. Mungkin hanya karena aku tidak sama dengan mereka, maka aku dipanggil Gila. Mungkin karena aku tidak melakukan hal yang setiap hari mereka lakukan, aku dipanggil Gila. Entahlah, aku hanya tidak memiliki keinginan yang sama dengan yang mereka inginkan. Aku tidak ingin rambutku dipotong dan disisir agar rapi. Aku biarkan saja rambutku menemukan jalannya sendiri. Aku juga tidak ingin mengenakan baju seperti yang mereka kenakan, rapi dan wangi. Malah, terkadang aku malas mengenakan baju. Sungguh, aku menikmati saat sinar matahari nakal mencumbu setiap pori-pori tubuhku. Dan aku tidak perlu sebuah rumah untuk tinggal, karena aku bisa tingal dimana saja. Hingga disuatu senja, aku sampai dijalan ini, bertemu denganmu, dan timbul keinginanku yang lain.
Aku ingin selalu menunggumu melintas dijalan ini. Entahlah, aku hanya merasa nyaman melihat parasmu. Aku nyaman melihat mimik wajahmu saat kau memandangku. Bahkan saat pertama kali kau melihatku. Sungguh, mimik wajahmu berbeda dengan mereka. Rata-rata, meraka akan merasa aneh ketika pertama kali melihatku. Atau mereka merasa tidak peduli. Bahkan ada diantara mereka yang sangat tidak suka saat melihatku. Atau saat aku melintas didepan rumah atau toko mereka. Mungkin karena mereka memiliki kesimpulan yang sama tentangku, Gila.
Tapi kau berbeda. Kau bahkan tersenyum saat pertama kali melihatku. Kau juga tersenyumn setiap kali bertemu orang. Aku tertarik padamu. Aku ingin tahu tentangmu. Siapa yang mengajarimu tentang bagaimana tersenyum. Bagaimana melukis dan mewarnai hidup dengan baik.
Maka jadilah aku tinggal dijalan ini. Tepatnya dipinggir jalan ini. Tidak akan ada yang mengusirku seperti yang sudah-sudah. Karena tempat dimana aku memilih untuk tinggal ini, jauh dari rumah. Jauh dari toko. Tapi cukup dekat untuk melihat kau melintas, melemparkan senyuman, dan meningalkan aroma tubuhmu. Aku ingin menikmatinya setiap hari dari wajahmu.
Waktu pun berjalan. Aku mulai nyaman dengan kebiasaan baruku. Menunggu senja. Menunggumu melintas. Dan saat kau telah berlalu, aku akan segera mencari aroma tubuhmu. Menghirupnya. Dan itu sudah cukup untuk mengantarku menanak mimpi diatas tungku malam. Tapi hanya senja saja aku melakukan ini. Karena ketika pagi saat kau akan berangkat ke tempat kerjamu, aku masih belum bangun. Itu juga kebiasaanku yang lain. Aku tidak suka matahari pagi. Mataku sering silau dibuatnya. Tapi matahari sore, aku sangat menyukainya. Apalagi bercampur dengan senyum dari wajahmu. Benar-benar cukup membuatku betah tinggal disini.
Semakin hari, kau seperti semakin mengerti, bahwa aku memperhatikanmu. Aku mengawasimu. Aku suka menunggumu. Kau seperti tahu, bahwa aku memujamu. Dan itu tidak membuatmu takut. Bahkan, kau semakin menunjukkan kepadaku, bahwa kau memang orang yang baik. Perempuan yang pandai melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik. Seperti siang ini. Saat aku terbangun dari tidurku karena mencium aroma yang tak lazim. Sebuah bungkusan dalam plastik hitam tergeletak tepat disampingku. Sebungkus nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya. Ah, kau memang baik. Bahkan kepada orang yang dipanggil Gila sekalipun.
Dan tidak terasa, hampir satu tahun sudah aku tinggal disini. Orang-orang mulai mengerti dan terbiasa dengan orang gila yang tinggal disini. Walaupun begitu, mereka masih mengatakan pada anak-anaknya, hati-hati melintas dijalan ini. Bisa ketemu orang gila. Bisa dikejar orang gila. Mereka tidak tahu, bahwa aku tinggal disini bukan untuk mengejar anak-anak mereka. Aku tinggal disini, karena aku nyaman denganmu. Walaupun sampai sekarang aku tidak tahu namamu. Dimana kau tinggal. Sebagai apa kau bekerja. Aku hanya mengenal senyummu, aroma tubuhmu, langkah kecilmu, serta kebaikanmu. Dan kaupun masih sering membawakanku makanan, walaupun tidak setiap hari. Beberapa orang pun kadang memberiku makanan. Sebagai gantinya, aku sering membersihkan selokan-selokan disepanjang jalan ini dari sampah. Makanya tidak ada yang mengusirku. Karena tidak ada yang merasa terganggu denganku.
Hingga suatu siang, aku bermimpi: senja itu, hujan lebat sekali. Tepat saat kau melintas dijalan ini. Itu membuatmu berhenti. Di etalase sebuah toko tepat diseberang jalan dimana selama ini aku tinggal. Dari balik hujan, aku melihat kau melempar senyum. Ternyata kau membawa sesuatu dalam plastik hitam. Seandainya ini pagi hari, mungkin aku telah menebak bahwa itu makanan. Tapi ini senja hari, dimana kau baru pulang dari tempat kau bekerja. Maka aku tidak dapat menebak, apa yang kau bawa itu. Hingga saat hujan mulai berhenti, kau keluar dari tempatmu berteduh, dan menghampiriku. Sungguh, aku berdebar. Apalagi saat kau berdiri didekatku, dan memberikan bungkusan itu padaku. Dengan malu, aku menerimanya. Dan kau kembali melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya meninggalkan senyumanmu disini. Saat kau telah menjauh, aku membuka bungkusan yang kau berikan. Ternyata sebuah baju. Ah, kau memang pandai melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik. Belum selesai aku memandangi baju pemberianmu, aku mendengar suara ban mobil berdecit. Serta suara tabrakan yang sangat keras. Berbarengan dengan jerit perempaun, yang aku langsung menebak, itu suaramu. Dan tepat didepanku, aku melihat sesosok tubuh tergeletak dengan kepala bersimbah darah akibat ditabrak sebuah mobil berwarna merah. Dan aku segera tahu, perempuan itu adalah: kau!
Aku terbangun dari tidurku. Dan ternyata hari sudah senja. Dan hujan pun sangat lebat. Sama persis seperti di mimpiku. Aku berusaha bangun untuk memastikan, dan terkejut, saat melihat kau telah berdiri, tepat diseberang jalan dimana sekarang aku berada. Juga sebuah bungkusan ditanganmu. Saat itu pula, kau berjalan menghampiri aku. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari. Meninggalkan tempatku. Menjauh darimu yang bingung. Saat aku lihat sebuah mobil berwarna merah melaju kencang dari arah yang berlawanan, aku mengahantamkan tubuhku ke mobil itu. Brakkk!!! Aku masih sempat mendengar jeritmu, sebelum akhirnya hanya sunyi dan gelap…
Saat aku sadar, aku telah melihat tubuhku tergeletak berlumuran darah. Dan kau duduk disamping tubuhku itu. Menangis. Kemudian kau membuka bungkusan yang tak sempat kau berikan padaku. Sebuah baju ternyata, sama persis dengan apa yang ada dalam mimpiku tadi. Bedanya, dalam mimpi kau memberikannya dengan senyuman, sekarang kau memberikannya dengan tangisan. Kau gunakan baju itu untuk menutupi tubuhku yang tak bergerak lagi.
Tiba-tiba aku menjadi berpikir…
Jika yang kini ada dihadapanku adalah tubuhku yang bersimbah darah dan tak bergerak lagi, lalu kemudian, apa aku sekarang? Mengapa aku masih bisa meliha dunia? Melihat tubuhku sendiri. Melihat pemilik mobil yang bingung. Dan melihat kau yang menangis… Apa aku sekarang?
Ternyata…
Kini aku melayang. Tidak lagi menyentuh tanah. Tapi aku masih bisa merasakan segalanya. Angin yang berhembus. Hujan yang berhenti. Suaramu yang menangis. Juga aku masih dapat melihat. Matamu yang lembab. Wajahmu yang sendu. Orang-orang yang mulai berkumpul mengerubungi tubuhku yang tak lagi bergerak. Aku masih bisa merasakan dan melihat segalanya. Bedanya, kini aku melayang. Benar-benar melayang. Aku bisa terbang kesana-kemari. Bahkan aku bisa mengitarimu. Mendekati wajahmu. Menyentuh rambutmu. Karena kini aku memiliki sayap. Aku telah bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu.
Setelah kejadian itu, kau masih melintas dijalan ini. Bahkan kini aku bisa mengikutimu kemanapun kau pergi. Dan kau masih seperti satu tahun yang lalu, saat aku pertama kali sampai dijalan ini. Langkah kecil yang indah, senyum yang merekah, serta matamu yang selalu berhasil menyimpan lelah. Kau telah me-metamorforsa-ku menjadi seekor kupu-kupu. Maka sebagai gantinya, setiap ingin, setiap doa’, setiap harap, setiap cita, yang terlepas dari dirimu, aku akan mengantarkan itu ke pangkuanNya, karena kini aku telah memiliki sayap untuk terbang membawa setiap anganmu.
Semua ini karena putihnya hatimu……
Kau masih seperti satu tahun yang lalu, saat aku pertama kali sampai dijalan ini. Langkah kecil yang indah, senyum yang merekah, serta matamu yang selalu berhasil menyimpan lelah. Bedanya, dulu aku tidak tahu siapa namamu, dimana rumahmu, sebagai apa dan dimana kau bekerja, hingga aku hanya menemukanmu ketika hari telah senja, hanya dijalan ini, dan hanya kau sendiri. Tapi kini, aku tahu namamu, aku tahu dimana rumahmu. Sebagai apa dan dimana kau bekerja. Dan itu semakin membuatku betah menunggumu dijalan ini. tak peduli apa kau tahu atau tidak, bahwa aku disini menunggu: untukmu.
Orang-orang memanggilmu Arinda. Niva Arinda. Kau hanya seorang gadis yang berprofesi sebagai penjahit. Tinggal di ujung jalan ini. Setiap pagi, saat matahari telah sepenggal menaiki tangga timur, saat itulah kau akan melintas dijalan ini. Menuju ruko kecil yang berdiri ditengah deretan ruko-ruko besar. Melayani setiap orang yang ingin membuat baju, atau memotong jeans yang terlalu panjang bagi kaki mereka, atau hanya sekedar memasang kembali kancing yang terlepas. Dan saat matahari telah hampir tenggelam ditangga barat, saat senja, baru kau akan kembali melintas dijalan ini lagi. Pulang. Menuju rumah. Yang ternyata hanya ada seorang perempuan tua dirumahmu itu. Dan kau memanggilnya bunda. Perempuan yang telah mengandungmu, melahirkanmu, memberimu nama Niva Arinda, dan perempuan yang telah mengajarimu menjahit. Juga mengajarimu bagaimana melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik.
Satu tahun yang lalu…
Orang-orang memanggilku Gila. Aku tidak tahu mengapa mereka memanggilku seperti itu. Padahal aku punya nama. Sadar. Namaku adalah Muhammad Sadar. Tapi entahlah. Aku lupa mulai kapan aku dipanggil Gila dan karena apa aku di panggil Gila. Tapi sudahlah. Itu tidak terlalu penting bagiku. Mungkin hanya karena aku tidak sama dengan mereka, maka aku dipanggil Gila. Mungkin karena aku tidak melakukan hal yang setiap hari mereka lakukan, aku dipanggil Gila. Entahlah, aku hanya tidak memiliki keinginan yang sama dengan yang mereka inginkan. Aku tidak ingin rambutku dipotong dan disisir agar rapi. Aku biarkan saja rambutku menemukan jalannya sendiri. Aku juga tidak ingin mengenakan baju seperti yang mereka kenakan, rapi dan wangi. Malah, terkadang aku malas mengenakan baju. Sungguh, aku menikmati saat sinar matahari nakal mencumbu setiap pori-pori tubuhku. Dan aku tidak perlu sebuah rumah untuk tinggal, karena aku bisa tingal dimana saja. Hingga disuatu senja, aku sampai dijalan ini, bertemu denganmu, dan timbul keinginanku yang lain.
Aku ingin selalu menunggumu melintas dijalan ini. Entahlah, aku hanya merasa nyaman melihat parasmu. Aku nyaman melihat mimik wajahmu saat kau memandangku. Bahkan saat pertama kali kau melihatku. Sungguh, mimik wajahmu berbeda dengan mereka. Rata-rata, meraka akan merasa aneh ketika pertama kali melihatku. Atau mereka merasa tidak peduli. Bahkan ada diantara mereka yang sangat tidak suka saat melihatku. Atau saat aku melintas didepan rumah atau toko mereka. Mungkin karena mereka memiliki kesimpulan yang sama tentangku, Gila.
Tapi kau berbeda. Kau bahkan tersenyum saat pertama kali melihatku. Kau juga tersenyumn setiap kali bertemu orang. Aku tertarik padamu. Aku ingin tahu tentangmu. Siapa yang mengajarimu tentang bagaimana tersenyum. Bagaimana melukis dan mewarnai hidup dengan baik.
Maka jadilah aku tinggal dijalan ini. Tepatnya dipinggir jalan ini. Tidak akan ada yang mengusirku seperti yang sudah-sudah. Karena tempat dimana aku memilih untuk tinggal ini, jauh dari rumah. Jauh dari toko. Tapi cukup dekat untuk melihat kau melintas, melemparkan senyuman, dan meningalkan aroma tubuhmu. Aku ingin menikmatinya setiap hari dari wajahmu.
Waktu pun berjalan. Aku mulai nyaman dengan kebiasaan baruku. Menunggu senja. Menunggumu melintas. Dan saat kau telah berlalu, aku akan segera mencari aroma tubuhmu. Menghirupnya. Dan itu sudah cukup untuk mengantarku menanak mimpi diatas tungku malam. Tapi hanya senja saja aku melakukan ini. Karena ketika pagi saat kau akan berangkat ke tempat kerjamu, aku masih belum bangun. Itu juga kebiasaanku yang lain. Aku tidak suka matahari pagi. Mataku sering silau dibuatnya. Tapi matahari sore, aku sangat menyukainya. Apalagi bercampur dengan senyum dari wajahmu. Benar-benar cukup membuatku betah tinggal disini.
Semakin hari, kau seperti semakin mengerti, bahwa aku memperhatikanmu. Aku mengawasimu. Aku suka menunggumu. Kau seperti tahu, bahwa aku memujamu. Dan itu tidak membuatmu takut. Bahkan, kau semakin menunjukkan kepadaku, bahwa kau memang orang yang baik. Perempuan yang pandai melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik. Seperti siang ini. Saat aku terbangun dari tidurku karena mencium aroma yang tak lazim. Sebuah bungkusan dalam plastik hitam tergeletak tepat disampingku. Sebungkus nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya. Ah, kau memang baik. Bahkan kepada orang yang dipanggil Gila sekalipun.
Dan tidak terasa, hampir satu tahun sudah aku tinggal disini. Orang-orang mulai mengerti dan terbiasa dengan orang gila yang tinggal disini. Walaupun begitu, mereka masih mengatakan pada anak-anaknya, hati-hati melintas dijalan ini. Bisa ketemu orang gila. Bisa dikejar orang gila. Mereka tidak tahu, bahwa aku tinggal disini bukan untuk mengejar anak-anak mereka. Aku tinggal disini, karena aku nyaman denganmu. Walaupun sampai sekarang aku tidak tahu namamu. Dimana kau tinggal. Sebagai apa kau bekerja. Aku hanya mengenal senyummu, aroma tubuhmu, langkah kecilmu, serta kebaikanmu. Dan kaupun masih sering membawakanku makanan, walaupun tidak setiap hari. Beberapa orang pun kadang memberiku makanan. Sebagai gantinya, aku sering membersihkan selokan-selokan disepanjang jalan ini dari sampah. Makanya tidak ada yang mengusirku. Karena tidak ada yang merasa terganggu denganku.
Hingga suatu siang, aku bermimpi: senja itu, hujan lebat sekali. Tepat saat kau melintas dijalan ini. Itu membuatmu berhenti. Di etalase sebuah toko tepat diseberang jalan dimana selama ini aku tinggal. Dari balik hujan, aku melihat kau melempar senyum. Ternyata kau membawa sesuatu dalam plastik hitam. Seandainya ini pagi hari, mungkin aku telah menebak bahwa itu makanan. Tapi ini senja hari, dimana kau baru pulang dari tempat kau bekerja. Maka aku tidak dapat menebak, apa yang kau bawa itu. Hingga saat hujan mulai berhenti, kau keluar dari tempatmu berteduh, dan menghampiriku. Sungguh, aku berdebar. Apalagi saat kau berdiri didekatku, dan memberikan bungkusan itu padaku. Dengan malu, aku menerimanya. Dan kau kembali melanjutkan perjalanan, setelah sebelumnya meninggalkan senyumanmu disini. Saat kau telah menjauh, aku membuka bungkusan yang kau berikan. Ternyata sebuah baju. Ah, kau memang pandai melukis dan mewarnai hidup ini dengan baik. Belum selesai aku memandangi baju pemberianmu, aku mendengar suara ban mobil berdecit. Serta suara tabrakan yang sangat keras. Berbarengan dengan jerit perempaun, yang aku langsung menebak, itu suaramu. Dan tepat didepanku, aku melihat sesosok tubuh tergeletak dengan kepala bersimbah darah akibat ditabrak sebuah mobil berwarna merah. Dan aku segera tahu, perempuan itu adalah: kau!
Aku terbangun dari tidurku. Dan ternyata hari sudah senja. Dan hujan pun sangat lebat. Sama persis seperti di mimpiku. Aku berusaha bangun untuk memastikan, dan terkejut, saat melihat kau telah berdiri, tepat diseberang jalan dimana sekarang aku berada. Juga sebuah bungkusan ditanganmu. Saat itu pula, kau berjalan menghampiri aku. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari. Meninggalkan tempatku. Menjauh darimu yang bingung. Saat aku lihat sebuah mobil berwarna merah melaju kencang dari arah yang berlawanan, aku mengahantamkan tubuhku ke mobil itu. Brakkk!!! Aku masih sempat mendengar jeritmu, sebelum akhirnya hanya sunyi dan gelap…
Saat aku sadar, aku telah melihat tubuhku tergeletak berlumuran darah. Dan kau duduk disamping tubuhku itu. Menangis. Kemudian kau membuka bungkusan yang tak sempat kau berikan padaku. Sebuah baju ternyata, sama persis dengan apa yang ada dalam mimpiku tadi. Bedanya, dalam mimpi kau memberikannya dengan senyuman, sekarang kau memberikannya dengan tangisan. Kau gunakan baju itu untuk menutupi tubuhku yang tak bergerak lagi.
Tiba-tiba aku menjadi berpikir…
Jika yang kini ada dihadapanku adalah tubuhku yang bersimbah darah dan tak bergerak lagi, lalu kemudian, apa aku sekarang? Mengapa aku masih bisa meliha dunia? Melihat tubuhku sendiri. Melihat pemilik mobil yang bingung. Dan melihat kau yang menangis… Apa aku sekarang?
Ternyata…
Kini aku melayang. Tidak lagi menyentuh tanah. Tapi aku masih bisa merasakan segalanya. Angin yang berhembus. Hujan yang berhenti. Suaramu yang menangis. Juga aku masih dapat melihat. Matamu yang lembab. Wajahmu yang sendu. Orang-orang yang mulai berkumpul mengerubungi tubuhku yang tak lagi bergerak. Aku masih bisa merasakan dan melihat segalanya. Bedanya, kini aku melayang. Benar-benar melayang. Aku bisa terbang kesana-kemari. Bahkan aku bisa mengitarimu. Mendekati wajahmu. Menyentuh rambutmu. Karena kini aku memiliki sayap. Aku telah bermetamorfosa menjadi seekor kupu-kupu.
Setelah kejadian itu, kau masih melintas dijalan ini. Bahkan kini aku bisa mengikutimu kemanapun kau pergi. Dan kau masih seperti satu tahun yang lalu, saat aku pertama kali sampai dijalan ini. Langkah kecil yang indah, senyum yang merekah, serta matamu yang selalu berhasil menyimpan lelah. Kau telah me-metamorforsa-ku menjadi seekor kupu-kupu. Maka sebagai gantinya, setiap ingin, setiap doa’, setiap harap, setiap cita, yang terlepas dari dirimu, aku akan mengantarkan itu ke pangkuanNya, karena kini aku telah memiliki sayap untuk terbang membawa setiap anganmu.
Semua ini karena putihnya hatimu……
Komentar
Posting Komentar